Menurut Niels Mulder, diantara ciri khas Jawa, salah satu yang menarik adalah bahwa orang jawa tersangat sadar tentang apa arti kebudayaan bagi kehidupan social. Akan tetapi budaya tidak bisa menjauh dari ajaran agama terutama Islam, sebab budaya tanpa disaring dengan nilai-nilai agama maka cenderung menyimpang, bahkan budaya tanpa Islam hanya akan menjadi wadah berbagai macam kreasi hawa nafsu dan hasil kultur negatif yang diberi label budaya. Secara umum orang jawa memiliki sifat-sifat luhur atau adiluhung yang bisa dianggap sebagai watak dasar yang mereka gunakan sebagai cikal bakal terbentuknya budaya dan peradaban jawa, bahkan sebagian mereka menganggap sifat-sifat tersebut selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam, diantaranya:
1. Andhap Asor
Secara umum orang Jawa memiliki karakter dan sifat andhap asor, sopan santun, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka fulgar, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat andhap asor terhadap orang yang lebih tua lebih diutamakan. Bahasa jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara. Saking sakralnya hingga seseorang bisa dianggap dosa bila menggunakan bahasa ngoko (kasar).
TS. Raffles mengemukakan pendapatnya tentang suku jawa bahwa orang-orang jawa sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk. Mereka memiliki rasa kesopanan dan tidak pernah bertindak atau berkata kasar. Meski terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak suka mengusik urusan orang lain. Mereka berjalan dengan lambat dan tidak tergesa-gesa, namun dapat menjadi tangkas apabila diperlukan.
Bahkan menurut Frans Magnis Suseno, etika jawa berporos pada dua kata kunci “kerukunan” dan “keselarasan”.
Niels Mulder juga menyatakan dengan tegas bahwa budaya Jawa adalah budaya yang menjauhi “kritik dan konflik”secara terbuka. Segala macam bentuk koreksi dan teguran secara terbuka selalu dihindari, karena akan menimbulkan retaknya konsep “kerukunan” dan “keselarasan” dalam masyarakat tersebut di atas.
2. Wani Ngalah
Orang jawa, pada umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan dan mengalah untuk kepentingan yang lebih luas dan besar. Menurut Prof.Dr.Suwardi, jantung kehidupan social jawa terletak pada sikap dan pekerti susila anoraga, artinya bersikap sopan santun dan rendah hati, wani ngalah. Etika social demikian memberikan gambaran agar orang jawa bersikap bijaksana terhadap sesama. Larangan membenci sesama merupakan cermin kepribadian orang jawa.
Orang jawa juga membedakan dalam penggunaan bahasa untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah dengan orang yang lebih tua. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik kepada orang yang usianya lebih tua, dalam bahasa jawa ngajeni (menghormati).
3. Narimo Ing Pandum
Salah satu konsep hidup yang paling dijunjung tinggi oleh orang Jawa. Narimo Ing Pandum menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh tuhan. Orang jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang apalagi dilawan dan diprotes begitu saja. Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak Sang Hyang Noto (Pengatur Jagad Raya).
Drs. R.M.P. Sosrokartono menyatakan, Trima mawi pasrah artinya menerima apa aja dengan penuh kepasrahandan tidak berontak terhadap putusan tuhan, karena semua yang terjadi dan semua yang dijalani sudah digariskan oleh tuhan.
4. Urip Ora Ngoyo
Konsep urip ora ngoyo, mengisyaratkan bahwa orang jawa hidup tidak terlalu berambisi, jalani saja segala yang harus dijalani tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan. Hidup mengalir sesuai dengan koridor dan kodratnya. Kita boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis, perubahan hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang jawa mengatakan dengan istilah ojo ngoyo (jangan dipaksakan). Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikan diri sebagai penumpang.
Laksana air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang jawa memahami hal itu, sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu.
5. Ngluruk Tanpo Bolo
Berjuang tidak perlu dengan membawa banyak massa, kemenangan tidak selalu harus melalui jalan perang atau adu fisik. Seni tertinggi dalam pergaulan di masyarakat adalah komunikasi dan koordinasi. Adu kekuatan atau perang memang akan mengalahkan lawan secara fisik. Namun kekalahan yang seperti itu belum tentu dapat membuat lawan merasa kalah. Salah satu cara berjuang adalah dengan menguasai seni komunikasi dan pendekatan.
Tak sepantasnya orang jawa mencari musuh, menjadi musuh,apalagi menantang dan memperbanyak musuh, meskipun manusia senantiasa ditakdirkan mempunyai musuh. Oleh karena itu, orang jawa dikenal bersikap ngalah, ngalih dan ngamuk, namun yang diperlukan pertama kali adalah sikap ngalah (mengalah), lalu ngalih (menjauh) kemudian bila sudah kelewat batas maka orang jawa biasanya bersikap ngamuk (melawan).
6. Sugih Tanpo Bondo
Maksud dari konsep sugih tanpo bondo, adalah bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan semesta Alam. Harta hanyalah sebagian kekayaan materi. Namun kekayaan yang sejati tidaklah diukur semata-mata dari banyaknya harta yang dimiliki, akan tetapi lebih kepada kekayaan hati yang luhur, mulia, pemaaf dan bersyukur. Dan juga mendapatkan kekayaan tidak harus bermodal uang bahkan dengan bekal kepercayaan, bersikap jujur, bekerja keras dan bermental ulet akan mendatangkan keuntungan materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar